IRONI PROBLEMATIKA KESEHATAN INDONESIA

Kesehatan merupakan suatu hal penting dalam kehidupan. Memang tidak tertulis atau masuk dalam aturan kebutuhan premier. Namun paham ataupun tidak, justru kebutuhan premier menjadi sebuah kebutuhan manakala kita sehat. Coba kalau kita sakit? Sakit jiwa misalnya. Apa kita butuh tuh yang namanya sandang ataupun papan? Pasti tidak peduli kan? Apalagi pangan? Ya paling – paling jalan – jalan di pinggiran jalan tanpa peduli ada orang yang melihat kita atau tidak, tidak peduli seberapa sopan pakaian kita, tidak peduli seberapa bersih tubuh kita. Iya kan? Semua itu mulai dari sandang, pangan, papan kita butuhkan manakala kita sehat. Manakala kita bisa menikmatinya. Tak heran banyak yang bilang kalau kesehatan itu mahal harganya, kalau kesehatan itu sulit dicari, kalau kesehatan itu sangatlah berharga. Setuju? Setuju ataupun tidak itu bukanlah hal penting, tapi coba kita lihat pada contoh nyata kehidupan kita sehari – hari. Mungkin kita termasuk orang – orang yang kurang bersyukur, kenapa begitu? Coba kita telaah lebih jauh, kita setiap harinya bisa bernafas berapa kali? Gak pernah ngitung, gak tau atau gak mau tau.?? Yang setiap harinya kita diberi akses gratis oleh Tuhan untuk bernafas saja kita belum tentu mesyukurinya apalagi yang berbayar?
Syukurlah Tuhan memberikan kita begitu banyak akses di dunia-Nya, sekarang mari kita lihat teman kita, saudara kita yang menderita kelainan atau penyakit pada paru – parunya, mereka harus mengeluarkan begitu banyak uang hanya untuk membayar nafas. Gak percaya? Ayo kita hitung. Harga 1 liter Oksigen Rp.25.000, harga 1 liter Nitrogen Rp.10.000, nah sekarang setiap harinya manusia menghirup 2880 liter Oksigen dan 11.276 liter Nitrogen, jadi kira – kira setiap hari mereka membayar Rp.185 juta. Wow, coba kalau sebulan, setahun? Orang paling kaya pun mungkin tidak akan sanggup untuk membayar harga sebuah nafas. Hanya sebuah nafas yang pada hakikatnya gratis untuk semua umat manusia. Yang gratis saja bisa bahaya dan mahal apalagi yang memerlukan perawatan? Maka dari itu masih pantaskah kita tidak mensyukurinya? Masih bisakah kita bilang bahwa kesehatan itu tidak mahal harganya?

Bicara masalah kesehatan tentu tak akan ada habisnya, tentunya pula tak lepas dari yang namanya pelayanan kesehatan. Tingkat pelayanan kesehatan di Indonesia boleh dibilang cukup baik, pasalnya warga kurang mampu bisa mendapat jaminan kesehatan, baik itu berupa jamkesmas, maupun jamkesda. Meski pada kenyataannya banyak dari rumah sakit – rumah sakit besar yang mewajibkan melengkapi persyaratan yang berbelit – belit untuk mendapatkan akses pengobatan gratis tersebut. Jenis tempat pelayanan kesehatan pun bermacam – macam, mulai dari puskesmas, rumah sakit dan bahkan sekarang menjamur klinik – klinik dokter, baik spesialis maupun umum. Pelayanan kesehatan pun tak lepas dari peran penting seorang jasawan, tangan kanan Tuhan dibidang kesehatan, iya dokter. Dokter sangatlah berjasa, atau bisa dibilang pemegang peran penting. Tanpa dokter, mana mungkin kita bisa tahu penyakit apa yang kita derita, tanpa dokter siapa yang akan membantu kesembuhan kita, tanpa dokter pun mungkin sudah begitu banyak nyawa yang tidak bisa tertolong keselamatannya.

Dokter merupakan pekerjaan yang mulia, banyak anak bangsa yang bercita – cita menjadi seorang dokter. Pekerjaan dokter pun sudah ada sejak zaman dahulu, dan itu menunjukkan bahwa pada dasarnya semua manusia peduli akan kesehatan. Namun kini pekerjaan dokter menjadi ambigu dengan maraknya kabar bahwa dokter sering dan bahkan sengaja melakukan malpraktek, itu sudah menjadikan citra dokter sebagai perantara pertolongan Tuhan menjadi perantara pencabutan nyawa. Dan yang menjadi kekecewaan yang lain adalah dunia kependidikan kedokteran. Sungguh ironis dan tragis. Betapa tidak, para anak bangsa yang bermimpi untuk menjadi seorang dokter harus menggelontorkan banyak uang, yang tak jarang menghabiskan seluruh harta benda dan kekayaan mereka, mereka harus rela menjual tanah, sawah ataupun harta benda yang lain untuk membayar biaya kuliah kedokteran yang tak sedikit. Alhasil para pemimpi tersebut tak jarang harus menelan pil pahit kekecewaan, karena banyak dari pemimpi tersebut termasuk dalam kalangan masyarakat yang tingkat ekonominya bisa dibilang pas – pasan. Tak hanya itu, kenyataan bahwa untuk memperoleh gelar dokter (dr.) itupun tak mudah didapat, tak cukup hanya menempuh satu tingkat pendidikan saja, namun harus beberapa kali dan itu pasti membutuhkan waktu yang lebih lama lagi.

Dan setelah para dokter menyelesaikan tugas kependidikannya, banyak dari mereka yang berhasil, menjadi seorang dokter di rumah sakit besar, mendirikan klinik – klinik pribadi, menuai hasil yang sangat memuaskan. Namun tak jarang banyak pula yang kecewa, gagal dan tak jarang mereka malah memilih jalan singkat yakni bunuh diri. Sungguh ironi. Yang berbahagia kerja di rumah sakit besar, mereka menilai bahwa pekerjaan ini sungguh sepadan karena apa yang mereka keluarkan selama menempuh pendidikan kedokteran paling tidak sudah kembali, istilahnya balik modal. Modal yang dikeluarkan besar maka hasilnya pun besar. Namun bagi mereka yang harus rela mendapat tugas di desa – desa terpencil, dan daerah – daerah yang jarang terjamah oleh gemerlapnya kemajuan zaman. Mereka para pejuang penerus kemerdekaan bangsa, harus rela mengarungi derasnya arus sungai yang memisahkan antara satu desa dengan desa yang lain, atau menjelajahi rimbunnya hutan tropis Indonesia yang tak jarang bahkan menyakiti diri mereka sendiri. Karena keadaan pemukiman masyarakat Indonesia yang masih bersuku – suku tersebut sangatlah terisolir, lalu perjuangan tersebut belum termasuk dengan cacian atau makian yang mereka terima dari penduduk sekitar. Karena masih banyak dari suku – suku di Indonesia yang enggan sama sekali tidak mau tahu dengan perkembangan zaman dan masih berpegang teguh pada warisan nenek moyang mereka. Tak terkecuali masalah pengobatan. Iya kalau masih hanya dicaci dan dimaki, tak jarang dari mereka harus diusir secara paksa, atau bahkan jadi incaran pembunuhan oleh suku setempat. Miris bukan? Sungguh sangat berbanding 180 derajat dengan para dokter yang bisa menikmati fasilitas mewah, kerja di rumah sakit besar, diberi ruangan ber-AC, gajinya besar. Meski begitu pada hakikat dasarnya mereka sama. Tidak yang di kota maupun di desa terpencil, karena tujuan mereka adalah untuk kemajuan Indonesia, untuk Indonesia lebih sehat dan lebih baik. Namun takdir lah yang menentukan arah jalan hidup mereka. Kita para peduli bangsa, hanya bisa berdoa, berseru terhadap kependidikan kedokteran Indonesia. Tak perlu lah besorak – sorak, menjadikan jalanan macet dan sebagainya, cukup salurkan semua itu melalui rubrik – rubrik media masa, melalui lat komunikasi masa, atau mention saja di twitter para pejabat negara, karena itu lebih mengenai sasaran bidikan kita daripada kita susah payah memacetkan jalan yang justru merugikan masyarakat bangsa. Ayo tunjukkan kehormatan bangsa di negara sendiri, ayo tunjukkan ilmu kemahasiswaan kita lebih berguna. Mari kita menjadikan bangsa Indonesia lebih baik, memerdekakan hak dengan hormat, segala aspek dari kita sangat berpengaruh pada kehidupan bangsa Indonesia kedepannya. Jadikan para culah – culah yang haus akan barang panas itu malu, jadikan para petinggi negara yang hobby traveling ke luar negri dengan uang rakyat itu menjadi sungkan.

Semoga para pemimpi mulia itu bisa menggapai cita – citanya, bisa mewujudkan apa yang mereka impikan, mejadi tangan kanan Tuhan, menjadi perantara kehidupan, menjadi pengobat kesakitan. Laksana tinta ujung pena yang siap menorehkan kata. Itulah para anak bangsa kita.

Tema : Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan di Indonesia
Subtema : Paradigma Dokter Indonesia; Antara Usaha Balik Modal dan Pengabdian
Judul : Ironi Problematika Kesehatan Indonesia
Panjang Kata : 1. 099

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya., :)