SAJAK PETINGGI NEGARA

Benar memang apa kata mereka, langit tak selamanya biru, gelap pun tak selamanya pekat, mendung pun tak selalu hujan. Entah apa yang keliru, apa pula takdir Tuhan. Seakan-akan semuanya sok tahu dengan teori-teori mereka. Dengan logika mereka, mereka mencerca setiap kejadian yang ada. Tapi mereka sering lupa dengan yang Kuasa. Aku mencoba seperti mereka, berfikir dengan nalar, dengan logika yang ada. Namun ragaku menolak, jiwaku menentang. Tak kusangka akan sepahit ini kenyataan. Tak ada yang bisa ku nalar, tidak ada yang bisa aku jelaskan dengan logika. Hah, jangankan menjelaskan, memikirkannya saja aku tak bisa. Kenyataan apa yang sedang aku alami ini? Mengerikan buatku yang belum pernah merasa getir pahit perjuangan hidup. Lalu bagaimana? Ya, aku tahu, aku tahu jawabannya. Aku harus bertahan, survive dalam pertarungan kehidupan. Kerasnya seleksi alam yang mulai menggusur siapa yang tak bisa bertahan. Dengan sejuta pemikiran yang berkecamuk ku coba menyingkir. Mengasingkan diri dari hiruk-pikuk pemikiran yang sejatinya hanya bisa membuat aku lebih lemah.


Kecaman itu, fitnahan itu, gunjingan, cemoohan, dan segala buah bibir yang menyudutkan aku. Tatapan sinis itu membuatku risih, namun aku tak bisa menjelaskan, aku tak bisa mengungkapkan bahwa mereka salah. Aku tak bisa, karena kekuatanku tak sebesar itu. Aku ingin katakan pada mereka bahwa mereka salah paham. Bukan aku yang berdusta, bukan aku yang ingkar, bukan pula aku tak jujur tapi dia. Mafia itu yang selalu menyayatku, dia yang selalu menekanku, dia yang selalu membuatku bimbang. Amarah, nafsu akan kekuasaan dan gila akan kehormatan dalam diriku lah yang aku sebut mafia. Dan aku adalah seorang manusia dengan segala kelemahan yang ada yang mudah terhasut oleh godaan. Ingin aku keluar dari jerat kubangan lumpur yang menyeretku pada kedustaan dan kebohongan semu. Hingga akhirnya aku terlena dan terperangkap. Kini aku sengsara, merana dan miskin.

Bukan, bukan miskin harta jika kalian berfikir begitu. Aku yang dulu dengan segala sifat semu ku selalu disanjung dan diagung-agungkan kini hanya bagai sebongkah batu diantara tumpukan karang koral di pantai. Tak berarti. Atau hanya sebulir pasir diantara gurun pasir Sahara. Atau hanya setetes embun diantara samudra Antartika. Atau mungkin juga sebutir salju di ujung dunia Kutub Selatan. Tak berarti. Tak tampak dan tak terlihat. Karena aku mulai tersingkir. Rasionalisme yang dulu selalu aku banggakan di depan meja bundar, keangkuhan pemikiran yang ngotot aku pertahankan kini seolah raib ditelan cibiran banyak orang. Hah sungguh menyedihkan, mana keangkuhanku yang dulu? Mana kesombongan yang selalu aku banggakan? Dimana mereka? Sudah puaskah mereka menyengsarakanku? Sudah puaskah mereka sekarang menertawakanku? Mafia yang dulu aku puja, yang dengan relanya aku menjadi hambanya, yang dengan segala janji-janji aku mengiba. Dan inilah yang aku sebut dengan kemiskinan nurani. Kemiskinan yang lebih rendah dari seorang yang rela menengadahkan tangan kepada yang dermawan.

Kini aku mulai tua, tergerus akan waktu, tersayat oleh detik demi detik yang siap merenggut nyawaku kapanpun. Entahlah haruskah aku menahan perih kehidupan yang terus menusukku tiap waktu. Aku mungkin belum pernah merasa getir kehidupan sepahit ini, tapi aku bukan seorang pecundang, aku akan bertahan. Semampuku, sekuat tubuhku menahan semua cobaan, aku lupa, aku punya sandaran yang sangat kuat, aku khilaf akan keglamouran duniawi, I have God, I will survive in this live, I won’t give up, I will revive and stay alive. Aku akan tunjukkan pada mereka, pada mafia dan bajingan-bajingan itu. Akan aku tunjukkan pada hamba mereka juga bahwa aku telah bangkit dari kubangan yang menjijikkan itu. Hidupku terlalu berharga untuk meratapi keterpurukan itu. Sadar bahwa semuanya belum terlambat, aku masih bisa memperbaikinya. Aku akan revive dari semua ini. Tak peduli apa yang mereka pikirkan, tak peduli apa yang mereka cibir tentang aku, yang pasti aku kan terus melesat jauh, berlari kearah kedamaian tanpa peduli ada orang yang menghambat. 

Hidupku kini akan berubah, mulai detik ini dan seterusnya. Tidak ada kata ‘seperti yang dulu’, tidak ada kata balikan dengan mafia itu, bagai seorang yang telah terpisah dari kekasihnya, move on, don’t give up and stay alive. Hahahah akhirnya aku bisa tertawa, akhirnya aku bisa mempermalukan para bedebah itu. 

Mungkin aku dulu salah satu dari mereka, para petinggi yang dengan angkuhnya menyombongkan apa yang bukan miliknya, tapi sekarang? Tidak, aku sudah tahu kebenaran, aku sudah merasa lebih kuat, aku sudah bangkit, atau mungkin bisa dibilang aku sudah hank-come dari kelompok itu, dari grup yang aku pun tak tahu apa gunanya. Grup yang hanya foya-foya dengan uang rakyat. Hey, aku tak serendah itu. Sudah cukup muak aku dengan tingkah laku mereka, mereka yang mungkin dulu teman, namun sekarang lawan. Mereka tidak ingat siapa yang mengangkat mereka dengan jabatan itu, mereka tidak ingat dengan sumpah janji lafadz Qur’an yang mereka tuturkan. Mereka tidak akan ingat. 

Sekarang saatnya bangkit,
I will survive, I will revive
I won't surrender and stay alive
I will survive, I will revive
getting stronger to stay alive

Ingatlah ini, sajak petinggi negara dengan segala keangkuhannya.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungannya., :)